Palopo___LUAR BIASA, itulah kata yang dapat mewakili pelaksanaan Training of Trainers (TOT) Pemantapan Nilai Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS) Republik Indonesia mulai tanggal 19-28 Juli 2022. Saya mencermati dan memastikan apakah ada kontradiksi antara nilai kebangsaan yang berasal dari 4 (empat) konsensus dasar nasional (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinnesa Tunggal Ika) seperti yang menyeruak belakangan ini untuk mengganti ideologi negara? Apakah yang rusak tidak lebih dari oknum penyelenggara negara yang korup, otoriter, sehingga negara berjalan seakan tiada haluan? Oleng ke kiri dan ke kanan tanpa kiblat yang jelas? Ini adalah beberapa pertanyaan fundamental yang sebenarnya sudah cukup lama dan muncul saat ini, menjadi perdebatan di kalangan cendikiawan baik yang berhaluan nasionalis, Islam, dan sekuler.
Pertautan dari materi ke materi kegiatan tersebut, sangat relevan dengan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar yang melahirkan konsep atau formula Darul Ahdi wa Syahadah, dan secara otentik dapat menghubungkan agama dan kebangsaan. Formula ini dipandang mampu memberikan jalan tengah atas perdebatan dan persengketaan sekitar hubungan antara agama dan negara atau masalah keagamaan dengan nasionalisme. Konsep ini sekaligus menghubungkan peta jalan yang telah dirintis oleh tokoh Muhammadiyah dalam merumuskan dasar negara. Tiga tokoh penting Muhammadiyah, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Prof. Kahar Mudzakir, dan Mr. Kasman Singodimedjo bersama para tokoh bangsa lainnya juga telah berperan aktif dalam Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk merumuskan prinsip dan bangunan dasar negara Indonesia.
Dalam momentum kritis satu hari setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diproklamasikan, Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimedjo dengan jiwa keagamaan dan kenegarawanan yang tinggi demi menyelamatkan keutuhan dan persatuan Indonesia, dapat mengikhlaskan dihapuskannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata yang dimaksud adalah anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana menjadi sila pertama dari Pancasila. Pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut bukan hal mudah bagi para tokoh Muhammadiyah dan wakil umat Islam kala itu. Sikap tersebut diambil semata-mata sebagai wujud tanggungjawab dan komitmen kebangsaan demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (PP Muhammadiyah, 2015).
Negara Pancasila adalah hasil konsensus konsensus nasional (dâr al-ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dâr al-syahâdah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dâr al-salâm), sebuah negara ideal yang dicita-citakan Islam adalah negara yang diberkahi Allah karena penduduknya beriman dan bertaqwa, makmur, tidak membuat kerusakan, memiliki relasi hubungan dengan Allah (hablun min Allâh) dan dengan sesama (hablun min al-nâs) yang harmonis (QS Ali Imran: 112), mengembangkan pergaulan antarkomponen bangsa dan kemanusiaan yang setara dan berkualitas taqwa, serta menjadi bangsa unggulan bermartabat (PP Muhammadiyah, 2015).
Konsep dâr al-ahdi wasyahâdah menguatkan adanya konsensus dasar, bahwa penyelenggaraan negara harus dikembalikan kiblatnya kepada nilai luhur Pancasila, didasarkan pada UUD 1945, memperhatikan keberagamaan dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika, dan dalam kerangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh penyelenggaraan negara harus didasarkan pada cita-cita nasional yang dilandaskan kepada Ke-Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan-Musyawarah, dan Keadilan Sosial. Kerangka dasar ini harus diinternalisasikan pada penguatan Pancagatra, sebagai istilah yang digunakan untuk melihat aspek-aspek penting yang ada di dalam negara, yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hingga pertahanan dan keamanan.
Inilah wujud dari kehadiran negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Secara eksplisit, Al-Qur’an menggambarkan negeri Saba’ sebagai negeri yang subur, makmur, dipenuhi kebun yang hijau dengan makanan yang melimpah, alamnya indah dan penduduknya pun selalu bersyukur atas nikmat yang mereka terima sehingga disebut baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Tetapi karena penyelenggaraannya tidak lagi didasarkan kepada petunjuk Allah, maka diturunkanlah azab. Negeri Saba’ menjadi kering kerontang, tak lagi menghasilkan tumbuhan-tumbuhan yang dapat menghidupi mereka. Perlahan, negeri Saba’ pun runtuh dan musnah. Pelajaran berharga dari kisah ini adalah bagaimana mengembalikan kiblat penyelenggaraan negara pada cita-cita awalnya, jika tidak? Bisa jadi kita akan menjadi bangsa yang PUNAH.